Cerpen Tahun 2000 an
- Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna konotatif
- Banyak menyindir keadaan sekitar baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan
- Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut antromofisme
- Kritik sosial sering muncul lebih keras
- Penggunaan estetika baru
- Karya cenderung vulgar,
- Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami,
- Munculnya cyber sastra di Internet, dan
- Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu ke rakyat jelataan
- Sudah memasukkan filsafat dalam karya sastranya.http://warnetgadis.blogspot.co.id/
Judul buku: Dua Tengkorak
Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman
Tradisi
mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh
banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca
terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha
mengintensifkan divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber
dari Harian Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi
penerbitan yang “paling tua” di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun
(kecuali tahun 1998) menerbitkan kumpulan cerpen terbaik.
Cerpen
pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak
Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi
ini, yakni karya Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi
kehidupan masyarakat Aceh selama dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen
yang merupakan cerpen terakhir karya Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal
dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang tewas dalam pembantaian militer dan
dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Cerita
tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul
Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru
yang korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian
menerima interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian
saudara bungsu istri pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi
hujan darah—darah korban kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.
Selain
tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol
reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen
Harris Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil
seorang aktivis pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini
digambarkan sosok Darmon yang secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan
kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar pengetahuan dan kepedulian
sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan bertemu dengan Darmon,
lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum dengan kenyataan itu,
Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.
Kisah
tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu mengantarkan
kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya yang
berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa
yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan
paradoks sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai
komoditas politik belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab
sosial sebagai mahasiswa. Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan
kebingungan ketika mengetahui dana organisasinya—yakni organisasi yang menjadi
wadah para aktivis mahasiswa—mulai menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan
sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di akhir cerpen ini adalah sebuah
tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada sebuah yayasan
internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional. Sebuah
sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!
Cerpen-cerpen
dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan kesaksian atas
carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis
multi-dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat
tragis dikemukakan dengan sarana cerpen.
Persoalannya
adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi pembaca untuk menemukan
“sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran atau majalah.
Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin yang
mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita
hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan
Goenawan dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan
dengan realitas sosial memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan
dirinya, yakni untuk mengendapkan makna berbagai peristiwa dalam suatu
formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair, dengan demikian, bergelut dengan
berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan pembaca kepada suatu
penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.http://warnetgadis.blogspot.co.id/
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.http://warnetgadis.blogspot.co.id/
Beberapa
cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di
Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan
ada tuntutan agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka
ketika itu cerpen menjadi “kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak
disampaikan itu. Karena itu, tak heran bila dalam pengamatan Goenawan beberapa
cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak dalam persoalan ini. Terlepas dari
hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kualitas
cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Kumpulan
cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh
cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti,
Umar Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim,
Yanusa Nugroho, Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP
Tamba, Bre Redana, Nenden Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.
Pada
umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian atas
dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang
kental dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala,
Telepon dari Aceh, Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras
Jrangking karya Prasetyohadi, Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau
Metropolitan Sakai karya Abel Tasman berusaha menampilkan berbagai gejolak
perubahan sosial yang terjadi di tanah air.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.
UNTUK VERSI LENGKAP (TULISAN + GAMBAR + EDIT + RAPI)
SILAHKAN DATANG KE WARNET GADIS.NET
SIMPANG SMPN 1 SITIUNG, DHARMASRAYA
08777-07-33330 / 0853-6527-3605
0 Response to "Cerpen Tahun 2000 an"
Posting Komentar