Asal Usul Awang Takuluak (Dharmasraya) Indo+Minang
Pada
zaman dahulu di sebuah daerah di Dharmasraya. Ada sebuah keluarga yang terdiri
dari ibu dan seorang anak. Ibunya bernama Asni dan anaknya bernama Suri, Suri
adalah yatim piatu ayahnya meninggal ketika ia berumur 7 tahun. Keluarga mereka
sangat sederhana, tiap hari ibunya harus ke sawah membanting tulang untuk
mendapatkan sesuap nasi. Namun kasih syang ibunya di balas dengan perlakuan
yang tidak baik oleh si anak karena si anak malu mempunyai ibu yang buruk rupa,
sementara ia adalah gadis yang cantik.http://warnetgadis.blogspot.com/
Suatu
pagi, ketika matahari baru naik sejengkal ibu tua itu sudah berangkat ke sawah
orang, membawa peralatan ke sawah yang sudah biasa ia bawa dan benih padi yang
akan ia tanam di sawah. Dengan penuh ke
ikhlasan si ibu membawa cangkul dan
benih seorang diri, sementara anak
gadisnya hanya melenggak-lenggok berjalan di belakang ibunya tanpa mau membawa
apapun karena ia malu mempunyai ibu yang jelek.
Sepanjang
jalan ibu tua dan anak nya menyusuri jalan yang berbatu, perjalanan panjang
harus mereka tempuh mengingat sawah yang akan
mereka kerjakan terletak lumayan
jauh dari rumah mereka. Peluh bercucuran membasahi pipi, tetapi ibu tua itu
tetap melanjutkan perjalanan sambil membawa cangkul dan padi yang ia junjung di
kepalanya, tetapi memang kebaikan tak selamanya di balas dengan kebaikan karena anak gadis satu-satu
nya yang ia punya hanya tertawa kecil ketika melihat ibunya kesusahan membawa
barang bawaan nya seorang diri.
Setelah melewati perjalanan panjang, ibu dan
anak itu pun sampai di sawah. Hari pun beranjak siang, panas matahari sudah menusuk ke ubun-ubun tapi si ibu tua
itu masih saja bekerja di sawah seorang diri tanpa menghiraukan panas yang
sudah membakar kulit dan perut yang mulai keroncongan.
Di
sisi lain dari atas sebuah tebing terdengar suara seorang ibu yang menyeru ke
arah sawah, ia adalah si empunya sawah yang akan memberikan makan siang kepada
orang yang bekerja di sawah, kegiatan ini merupakan tradisi yang selalu di lakukan oleh masyarakat.
“ Ngapo kau di siko ri,
mano nyo andek kau..?” ( sedang apa kamu di sini, mana ibu mu?) tanya empunya sawah
kepada Suri.
“Inyo sadang mamangku di
sawah nin a ni,”( Ibu saya sedang mencangkul di sawah) teriak Suri kepada yang
empunya sawah.
“ Imbaulah andek kau de,
uni nak maagian nasi ka inyo...” (panggilah ibu mu, saya hendak memberikan nasi
kepadanya) Empunya sawah menyampaikan tujuan kedatangannya kepada Suri.
“ Dak ya do ni, nyo lah
makan tadi nye..” ( Tidak usahlah lah bu, tadi ia sudah makan) jawab Suri ke
empunya sawah.
“ Lae iyo de..? biasonyo
andek kau de lun makan jam sagiko lai..” (masak iya? Biasanya jam segini ibumu
belum makan) sambung ibu itu seakan tidak percaya dengan apa yang di katakan
oleh Suri.
“ alah tadi nyo ni, tapi kok nak maagiahan juo uni nyo, agiak
jia lah di sayak tampuruang de ha” ( sudah tadi, tapi jika ibu masih ingin
memberikanya, masukkan saja ke dalam tempurung kelapa yang ada di sana) jawab
Suri
“Yo lah ri,”( baiklah kalau begitu) jawab sang empunya sawah sambil terheran-heran
dengan jawaban Suri.
Dengan berat hati sang
empunya sawah memberikan tempurung kelapa yang berisi nasi tersebut. Betapa
sedih dan kecewa nya hati si Ibu tua setelah mendengar kata-kata anaknya, ia
hanya bisa pasrah dengan perbuatan anak semata wayang nya itu.
Tak lama berselang hari pun mulai beranjak petang, Ibu tua
dan anak gadisnya mulai beranjak pulang, Ibunya berjalan terlebih dahulu
kemudian anaknya mengikuti di belakang. Di tengah-tengah perjalanan Suri
tergelincir ke dalam awang (rawa) iapun berteriak kepada ibunya.
“amak.... wak jatuah ka awang,” (ibu, aku terjatuh ke rawa)
“pidin lah.” (biarlah nak) sahut ibunya.
“ mak,mak... lah sampai ka lutuik wak nyo ha”
(bu, sudah sampai ke lutut saya) teriak
nya kepada ibunya.
“ pidin lah ri,” (biarlah nak) sahut ibunya
kembali
“mak... lah samapai ka dado wak ha,” ( bu
sudah sampai ke dada saya) sedetik pun ibunya tidak mau memalingkan wajah nya
ke belakang untuk melihat anak nya.
“ Mak.. lah sampai ka kapalo awak nyo, ambiak
lah takuluak wak ko dek amak ha” ( bu sudah sampai ke kepala saya, ambil saja
selendang ini oleh ibu) permohonan terakhirnya kepada ibunya.
“Pidin jia lah, jadian se itu katando nisan
kau..” ( biarkan lah, jadikan saja itu sebagaipertanda nisan mu). Sahut ibunya.
Dengan
perasaan hancur dan kecewa, si Ibu tua
merelakan anak nya Suri terbenam di
awang (rawa) yang dalam bersama takuluak
nya yang mengembang sebagai penanda nisan nya.http://warnetgadis.blogspot.com/
Oleh karena itu, sekarang daerah dimana Suri tenggelam di
beri nama Awang takuluak.
UNTUK
VERSI LENGKAP (TULISANNOTES :
Ini cuma hasil buatan siswa/siswi (Kesalahan sumber/materi diluar tanggung jawab admin)
Tulisan ini hanya sekedar untuk melengkapi tugas mata pelajaran disekolah
tidak ada unsur membuat, merubah asal muasal sebuah daerah.
Mohon di maklumi dan dipahami
HANYA TUGAS SEKOLAH
+ GAMBAR + EDIT + RAPI)
Ini cuma hasil buatan siswa/siswi (Kesalahan sumber/materi diluar tanggung jawab admin)
Tulisan ini hanya sekedar untuk melengkapi tugas mata pelajaran disekolah
tidak ada unsur membuat, merubah asal muasal sebuah daerah.
Mohon di maklumi dan dipahami
HANYA TUGAS SEKOLAH
+ GAMBAR + EDIT + RAPI)
SILAHKAN
DATANG KE WARNET GADIS.NET
SIMPANG
SMPN 1 SITIUNG, DHARMASRAYA
08777-07-33330
/ 0853-6527-3605
0 Response to "Asal Usul Awang Takuluak (Dharmasraya) Indo+Minang"
Posting Komentar