Makalah Perang Diponegoro
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa
menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah
tentang “Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita
untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan
bisa mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.http://warnetgadis.blogspot.co.id/
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini
dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan................................................................ 3
2.2 Tokoh / Pemimpin Perang..................................................................................... 4
2.3 Proses Perlawanan................................................................................................. 5
2.4 Akhir Perlawanan.................................................................................................. 6
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 8
3.2 Saran...................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana
penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga
terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah,
khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas,
bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke
bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang
semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan
terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan
penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan
oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan
bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia
memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada
kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua
periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800.
Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah
perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan
sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat
Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan
perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore),
Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali,
Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan
cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah
dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang
masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang melatar
belakangi dalam prlawanan tersebut ?
2.
Bagaimana strategi
yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
3.
Siapa tokoh yang
paling berperan dalam perlawanan tersebut?
4.
Bagaimana proses
dalam perlawanan tersebut ?
5.
Bagaimana akhir
dari perlawanan tersebut ?
1.3 Tujuan Pembahasan
Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan
keadaan Bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
(PERANG DIPONEGORO)
2.1 Latar Belakang Terjadinya
Perlawanan
Sejak kedatangan Belanda di Jawa Tengah,
kerajaan Mataram mengalami kemerosotan. Wilayah kerajaan semakin sempit karena
banyak daerah diambil alih oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini menimbulkan rasa benci dari
golongan-golongan rakyat banyak atau rakyat jelata. Walaupun keadaan sudah
mulai panas namun golongan-golongan itu masih menunggu datangnya seorang Ratu
Adil yang dapat memimpin mereka dalam menghadapi Belanda. Tokoh yang diharapkan
itu adalah dari kalangan istana yang tampil ke depan untuk memimpin mereka,
beliau adalah Pangeran Diponegoro.
Latar Belakang Perang
Diponegoro Ada beberapa hal yang menyebabkan Pangeran Diponegoro turun tangan
dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.
A.
Sebab-sebab Umum
-
Kekuasaan
raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot. Bersamnaan dengan
itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil, yaitu Surakarta,
Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman.
-
Kaum
bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah yang dulu
dibagi-bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan menguasahakan
perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus dikembalikan
kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan kegelisahan
diantara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot yang telah
diterima.
-
Rakyat
yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan sebagainya merasa
tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang di borong oleh
orang-orang Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat beban rakyat.
B.
Sebab-sebab Khusus
Sebab-sebab khusus terjadinya Perang
Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran
Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo IV (seorang "kaki tangan"
Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok di jalur itu. Pangeran
Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun potok-patok itu dipasang
kembali atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti ini berlangsung
berkali-kali, sehingga akhirnya patok-patok itu diganti dengan tombak. Dengan
penggantian patok itu menandakan kesiapan Pangeran Diponegoro untuk berperang
melawan Belanda. Peperangan tidak dapat dielakan lagi dan pasti akan terjadi.
Tetapi Belanda berusaha menghadapi kemelut antara kedua bangsawan tersebut dan
mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu Belanda mengutus Pangeran
Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro) untuk membujuknya agar mau bertemu
dengan residen Belanda di Loji. Pangeran Diponegoro menolak tawaran itu karena
tahu arti semua yang dimaksud oleh Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran
Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba telah
melakukan serangan.
2.2 Tokoh / Pemimpin
Perang
Di bawah
kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk
bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah
dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi
pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro
juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung
Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan
juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji
Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.
2.3 Proses
Perlawanan
Pertempuran terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal)
di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di
puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran
berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik
sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh,
jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena
taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi
selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk
bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim
penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan
mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak
tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan
mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan
dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro.
Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda
mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah
terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare),
maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan
melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang
ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi
oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran;
dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro
terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Modjo, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada
tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit
pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya
di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak
pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton
Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat
kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat
bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa
takut akan diusir.
2.4 Akhir Perlawanan
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang
menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara
Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan
soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme
dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil
kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum
paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak:
babak I antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro,
Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk
menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan
senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari
Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir
(1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang
Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam
Bonjol akhirnya
menyerah. Berakhirlah Perang Padri.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Akhirnya pada tahun 1837
Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil
ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut
memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri
sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena
sudah tidak ada perlawanan yang berarti.
3.2
Saran
Semoga dengan dibuatnya
makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang Indonesia zaman
dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa. Janganlah melupakan jasa
pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan semoga kita bisa
mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara.
Jakarta:PT Gramedia
Hanna,
Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya
UNTUK VERSI LENGKAP (TULISAN + GAMBAR + EDIT + RAPI)
SILAHKAN DATANG KE WARNET GADIS.NET
SIMPANG SMPN 1 SITIUNG, DHARMASRAYA
08777-07-33330 / 0853-6527-3605
0 Response to "Makalah Perang Diponegoro"
Posting Komentar