Waduk Gajah Mungkur, Pengorbanan Orang Wonogiri untuk Indonesia
WONOGIRI -
Ada satu hal yang khas di Indonesia, yaitu istilah “tanah tumpah darah” atau
“tanah air” untuk menyebut tanah kelahiran seseorang. Dalam lagu Indonesia
Pusaka karya Ismail Marjuki juga disebut “disana tanah lahir beta, dibuai
dibesarkan bunda” yang diakhiri dengan lirik “tempat berlindung di hari tua
hingga akhir menutup mata”. Berbagai istilah untuk menyebut tanah kelahiran itu
mengandung makna bahwa hubungan antara manusia dengan tanah demikian “kuat”.
Artinya manusia dengan tanah kelahirannya merupakan satu kesatuan yang seolah
tidak bisa dipisahkan, kecuali jika ada kepentingan lain yang lebih besar.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, wong Wonogiri tentu
juga menganut falsafah hidup yang sama, memiliki keterkaitan yang kuat antara
tanah kelahiran dengan dirinya. Pertanyaannya, kenapa pada tahun 1976 lebih
dari sepuluh ribu orang Wonogiri bersedia meninggalkan tanah kelahirannya untuk
sebuah “waduk raksasa” Gajah Mungkur? Inilah cerita menarik yang perlu kita
fahami, terutama generasi yang lahir setelah masa itu sebagai inspirasi bagaimana
mencintai suatu negeri.
Waduk Gajah Mungkur adalah “waduk raksasa” yang berada
sekitar 7 Km arah selatan Kota Wonogiri yang merupakan pertemuan kali Keduwang
dan sungai Bengawan Solo. Waduk ini dibangun dari tahun 1976 s/d 1981 dengan
luas genangan sekitar 88 Km2 yang mampu menampung air sekitar 735 juta M3.
Perairan danau buatan ini membendung hulu sungai terpanjang di pulau Jawa yaitu
sungai Bengawan Solo.
Waduk ini sekarang menjadi obyek wisata andalan Kabupaten Wonogiri.
Di kawasan obyek wisata ini juga dikembangkan Agrowisata berupa pemBudidayaan
berbagai jenis ikan tawar, taman satwa, mainan anak-anak, Jet Sky, perahu,
sepeda air, sarana olah raga gantole, karamba, kereta kelinci, naik gajah, dan
yang paling baru yaitu Water Boom. Obyek wisata Gajah Mungkur ini juga
menyajikan perpaduan wisata alam, permainan anak, dan aneka pagelaran budaya
dengan dukungan fasilitas yang terbilang cukup lengkap. Untuk akomodasi bagi
wisatawan dari luar daerah, di sekitar obyek wisata ini juga sudah banyak
didirikan hotel dan tempat penginapan yang nyaman dengan tarif yang relative
murah. Bahkan setiap Hari Raya Idul Fitri selama dua minggu di Obyek Wisata
Waduk Gajah Mungkur diadakan event pariwisata Gebyar Gajah Mungkur dengan berbagai
pentas kesenian menarik.http://www.warnetgadis.com/
Waduk Gajah Mungkur tidak hanya menarik sebagai obyek
wisata, tetapi juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di hilir karena
tampungan air waduk juga merupakan sarana pengaturan jaringan irigasi yang
mampu mengairi wilayah persawahan di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar.
Selain itu, air tampungan di waduk ini juga menjadi energi pembangkit tenaga
listrik yang memasok kebutuhan listrik wilayah lain, seperti Kabupaten
Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, dan Kota Solo. Satu hal yang dirasakan oleh
masyarakat di sepanjang Sungai Bengawan Solo adalah kemampuan Waduk ini untuk
mengendalikan banjir yang pada tahun 1966 menenggelamkan Kota Solo.
Besarnya
manfaat Waduk Gajah Mungkur itu tentu tak lepas dari “pengorbanan” orang
Wonogiri yang sebelumnya menghuni wilayah ini, karena waduk ini dibangun diatas
areal tanah hunian, persawahan, dan perladangan penduduk seluas 90 Km2 yang
mencakup 51 desa di 7 Kecamatan. Terdapat 12.525 Keluarga (68.750 jiwa)
penduduk Wonogiri yang tinggal di areal ini, 10.350 Keluarga diantaranya secara
sukarela meninggalkan “tanah kelahiran-nya” pindah melalui transmigrasi, dan
sisanya sekitar 2.175 Keluarga pindah secara mandiri ke berbagai daerah, baik
di wilayah Jawa Tengah maupun kota-kota lain di Indonesia. Pertanyaannya
“mengapa mereka bersedia secara sukarela meninggalkan tanah kelahiran atau
tanah tumpah darah atau tanah airnya?”.
Bisa
dibayangkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi saat waduk ini dibangun
selama lima tahun. Mulai dari proses “pembebasan tanah”, pembayaran ganti rugi,
penyiapan tempat tinggal untuk membangun hidup baru di Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Jambi, dan Bengkulu, serta proses perpindahan penduduk dengan berbagai
kompleksitas masalahnya, baik yang berhubungan dengan masalah sosial, budaya,
mobilisasi orang dan barang maupun aspek psikologis lainnya. Satu hal yang
wajar jika dalam proses itu terdapat beberapa “gesekan kecil” dari mereka yang
ihklas, setengah ihklas, dan bahkan menolak rencana besar itu.
Syukur
Alhamdulillah, Bupati Wonogiri waktu itu (Harmoyo) adalah seorang pemimpin
bijak yang mampu meyakinkan masyarakat yang dipimpinnya. Didukung oleh para
Menteri terkait waktu itu, Menteri Transmigrasi Prof. Subroto, Menteri
Pekerjaan Umum Prof. Purnomosidi Hajisarosa, dan diakhiri Menteri Muda
Transmigrasi Martono melakukan “blusukan” untuk mengajak dialog dengan
masyarakat Desa-desa genangan. Akhirnya melalui proses panjang, pendekatan
manusiawi dilandasi falsafah “nguwongke”, proses panjang itu berhasil dilalui.
Permukiman transmigrasi di wilayah Sitiung Provinsi Sumatera Barat yang (waktu
itu) dipimpin Gubernur Prof. Harun Zein siap menampung para pahlawan
pembangunan dari Wonogiri, sementara Menteri Transmigrasi bersama Menteri
Perhubungan juga telah siap dengan berbagai sarana perpindahnnya.
Awal
Desember 1976, rombongan pertama 100 Keluarga pahlawan pembangunan Waduk Gajah
Mungkur Wonogiri meninggalkan Transito di Giriwono menuju Stasiun Kereta Api
Jebres Solo, selanjutnya menggunakan Kereta Api menuju Stasiun Tanjung Priok
Jakarta untuk langsung naik Kapal menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat.
Inilah peristiwa terbesar dalam sejarah perpindahan penduduk melalui
transmigrasi di Indonesia. Awal Desember ini Trip pertama gelombang awal
terdiri dari 100 kepala keluarga (448 jiwa) bergerak dari Pelabuhan Teluk Bayur
menelusuri jalan melingkari Danau Singkarak menuju Desa Sitiung (Sumatera
Barat) sepanjng sekitar 217 Km. Penduduk setempat-pun berjejal menyambut ceria
dengan berbagai tetabuhan, ada telepong, bahkan reog Ponorogo. Sampai bulan
Maret 1977 sejumlah 2.000 kk (65 517 jiwa) warga daerah genangan Waduk Gajah
Mungkur berhasil ditempatkan di 4 Desa baru wilayah Sitiung, Tiuamang dan
Silalang kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
Sambutan
masyarakat “urang awak” waktu itu cukup ramah. Upacara adat Minang ‘sekapur
sirih’ dilakukan oleh Zohar sebagai wakil Ninik-mamak, diterima oleh Prawiro
Diyono, bayan dukuh Karanglo, yang dilanjutkan dengan sambutan ketua adat
setempat, Datuk Mendaro Kuning. Hari itu, Rabu perjalanan dari jam 06.00 dan
tiba di Sitiung jam 15.00 sore hari. Kawasan Sitiung seluas 108 kilometer
persegi dan berpenduduk asli 3.471 jiwa itu, dikenal sebagai daerah subur. Di
desa yang terletak 4 kilometer dari Trans Sumatra Highway itu sudah tersedia
ladang yang akan dibagikan. Juga areal persawahan yang kini sebagian besar
masih menunggu selesainya proyek irigasi dataran Batanghari. Dengan tambahan
100 kk itu, dipastikan Sitiung akan menjadi 2 desa. Dan sesuai dengan ketentuan
semula, desa baru itu akan dipimpin oleh Kepala Desa baru, (waktu itu) Bapak
Pardi Padmosumarto yang memang telah ditunjuk oleh Bupati Wonogiri. Pembukaan
permukiman baru itu juga dilengkapi dengan beberapa prasarana seperti SD, SLTP,
dan SLTA, Balai Pengobatan, dan lain-lain. Yang menarik, pada waktu itu juga
dibangun pasar yang oleh masyarakat setempat diberi nama “Wonositi” sebuah nama
yang menggabungkan nama Desa setempat Sitiung dengan asal transmigran Wonogiri.
Akhir tahun 1976 itu, sebanyak 2.000 KK warga asal Kabupaten Wonogiri berhasil
ditempatkan di hamparan Sitiung.
Namun
memang tak ada perjalanan yang selalu mulus dan berbagai persoalan-pun
seringkali menghadang. Ketika proses pembangunan Waduk kurang sinkron dengan
proses pembangunan permukiman baru untuk menampung penduduk Wonogiri berbagai
persoalan pelik memaksa para pejabat untuk secara cerdas mencarikan solusi.
Waktu itu, secara teknis pembangunan waduk mengharuskan seluruh areal
dikosongkan karena arealnya harus segera digenangi. Namun, karena berbagai
masalah lapangan, pembangunan permukiman transmigrasi belum semuanya siap. Daya
tampung kawasan Sitiung ternyata tidak mampu menampung seluruh penduduk daerah
genangan waduk, sehingga Depnakertranskop dibawah komando Prof. Subroto harus
berjuang keras mencari tempat lain. Tempat itu diperoleh, ada di kawasan
Jujuhan Provinsi Jambi bersebarangan dengan Sitiung, ada di kawasan Baturaja
Provinsi Sumatera Selatan, dan ada pula di kawasan Kuro Tidur Provinsi
Bengkulu. Namun ternyata penyebaran penempatan orang yang merasa menjadi “korban
Waduk” itu “ditolak” oleh sebagian warga. Tentu hal demikian cukup merepotkan.
Tahun 1980, sebanyak 1.850 KK menolak dan mereka enggan
meninggalkan tanah kelahirannya. Bahkan jika Pemerintah memaksa, merekapun
menyatakan siap “tenggelam bersama” karena menganggap Pemerintah “ingkar
janji”. Sitiung yang waktu itu menjadi lokasi “idola” bagi “korban waduk”
ternyata tidak mampu menampung semua.
Berbagai cara dilakukan untuk mengharap “keihklasan” warga
“korban Waduk Gajah Mungkur” Wonogiri ini. Berbagai strategi komunikasi
dilakukan, dan berkat “kenegarawanan” mereka, 1.850 KK tersebut bersedia
berangkat menuju kawasan Kuro Tidur di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi
Bengkulu. Itulah kenegarawanan orang Wonogiri, walaupun dengan berat hati,
mereka menyadari bahwa waduk adalah kepentingan bangsa yang lebih besar.
Akhirnya pada tanggal 17 November 1981, Waduk Serbaguna Gajah Mungkur-pun
diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Kini, setelah rata-rata sekitar 34 tahun, perjuangan 10.350
KK warga Wonogiri “korban Waduk Gajah Mungkur” di Sumatera Barat, Jambi,
Sumatera Selatan, dan Bengkulu-pun berhasil meraih sukses. Mereka merajut masa
depan bersama keluarga dan handai taulannya dengan berbagai bidang usaha. Ada
yang sukses dengan Budidaya pertanian, perkebunan, dan berbagai bidang usaha,
merintis karier di pemerintahan, dan bahkan melalui jalur Politik. Saat ini
tidak sedikit transmigran warga genangan waduk Gajah Mungkur yang menjadi
pejabat public dan juga anggota parlemen, baik DPRD Kabupaten/Kota maupun Provinsi.
Pengorbanan mereka meninggalkan tanah kelahirannya berbuah sukses, dan itulah
bukti bahwa jiwa kenegarawanan berhasil memberikan manfaat bagi sesame dan juga
dirinya.
Demikian pula Waduk Gajah Mungkur, kini menjadi idola
Kabupaten Wonogiri, persawahan di wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan
sekitarnya tertata apik, dan pasokan listrik-pun mendorong pertumbuhan kawasan
Jawa Tengah Tenggara ini. Itu semua berkat “kebesaran jiwa dan kenegarawanan”
puluhan ribu warganya. Kini, mereka yang dulu merasa menjadi “korban” telah
memetik buah keberhasilan, tidak hanya diri dan keluarganya, tetapi juga
masyarakat yang ia tinggalkan, Wonogiri dan sekitarnya.
Itulah Pahlawan, walau tidak harus berperang. Itulah
pahlawan, walaupun tidak harus mati. Siapapun yang berjuang dengan ihklas untuk
negeri dan keluarganya, termasuk orang tua kita, mereka adalah PAHLAWAN.
Sumber :www.jitunews.com
UPDATE FOTO
ALHAMDULILLAH PADA BULAN APRIL 2016 KEMARIN, ADMIN JAUH DARI SITIUNG, SUMATERA BARAT BERHASIL MENGINJAKKAN KAKI PERTAMA KALI DI TANAH KELAHIRAN ORANG TUA. SEMOGA KOTA WONOGIRI SEKITAR MAKIN MAJU, SUKSES DAN TIDAK MELUPAKAN JASA PARA ORANG TERDAHULU................
SALAM DARI WONG SITIUNG
0 Response to "Waduk Gajah Mungkur, Pengorbanan Orang Wonogiri untuk Indonesia"
Posting Komentar