Contoh kaba Minangkabau (Contoh 3)
Kaba Cindua Mato
Pada
zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon
diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia
adalah timpalan Raja Rum, Raja Cina dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo
Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk
membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana.
Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang
sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa
Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih
suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak
pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku
dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan
Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai
suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat
Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya
berangkat ke Sungai Tarab.
Di
Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah
Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai
menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu
lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan
Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat
Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut
Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk
Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara
itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan
Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah
negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita
bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah
putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil
Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa
cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas
mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung.
Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di
Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang
didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia
mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para
menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak
dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada
pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan
kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan
Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai
mas kawin untuk Puti Bungsu.
Dengan
menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang,
Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di
dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan.
Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak
tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para
pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun.
Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato
menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si
Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa
Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya
dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur,
dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan
Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar
penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu
Bundo Kanduang atas perkawinan yang hendak dilangsungkan.
Dengan
berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti
Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti
Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu
bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah
ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkawinan yang
berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua
Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti
Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota
Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan
menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui
wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa
Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato.
Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa
Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada
kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri
ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja
Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum
menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku,
Raja Alam.
Pada
pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh
mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa
alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku
dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang
giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk
memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya.
Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar
malu.
Cindua
Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkawinan antara
Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu.
Setelah masa persiapan, perkawinan kerajaan tersebut dilangsungkan di
Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan
raja dari segenap penjuru Pulau Perca.
Sementara
itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap
menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih),
dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan
oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya
Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura,
negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang
Jayo memerangi Pagaruyung.
Geram
karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo.
Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh
keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan
telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun
raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti
dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan
soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu
mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang
Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura,
dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato
gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana
Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada
suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi
bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti
Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang
Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai.
Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja
Muda.
Cindua
Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang
berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah
pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada
saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan
anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu
hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi
dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri.
Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih
bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri
keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel
tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah
kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato
menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo
Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari
hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki
yang diberi nama Sutan Lembang Alam.
Setelah
beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke
Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkawinannya
dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.
UNTUK VERSI SOFTCOPY (TULISAN + GAMBAR + EDIT + RAPI)
SILAHKAN DATANG KE WARNET GADIS.NET
SIMPANG SMPN 1 SITIUNG, DHARMASRAYA
08777-07-33330 / 0853-6527-3605
HARGA BERSAHABAT
0 Response to "Contoh kaba Minangkabau (Contoh 3)"
Posting Komentar