Pers Pada Masa Demokrasi Terpimpin Lengkap
Media massa
mengambil posisi yang penting dalam perkembangan masyarakat. Kehadiran media
massa bisa mempengaruhi pendapat dan pemikiran masyarakat. Lewat media pula
inovasi dan pembaruan bisa dilakukan masyarakat. Kebijakan pemerintah pun bisa
diketahui, disetujui atau bahkan dihujat melalui media.
Marshal Mc
Luhan menyebutnya sebagai the extension of man (media adalah
perpanjangan tangan manusia). Berbagai keinginan, aspirasi, kebijakan
masyarakat disalurkan lewat media
Media massa
hanya sismbol dari pengadaan komunikasi.jadi hubungan antar unsurnya bersifat
informasional membentuk sebuah sistem. Hakikat sistem komunikasi (meminjam
analogi Parson) adalah suatu pola hubungan yang saling melengkapi antarsistem
dalam sistem komunikasi.
Sistem
komunikasi tidak bisa berdiri sendiri. Sistem komunikasi dipengaruhi oleh
sistem lainnya yaitu, sistem sosial dan sistem politik.
Dalam tulisan ini akan diperlihatkan
bagaimana kondisi sosial dan politik, terutama yang kedua menjadi penentu
konstelasi media di era demokrasi terpimpin terutama surat kabar.
Periode yang terjadi pada masa
demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi
saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai
tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya
Gerakan 30 September 1965. Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI
menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanaan pers terus berlangsung.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan
pers diawalidengan peringatan Menteri Muda Malawadi bahwa “langkah-langkah
tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah dan kantor berita yang tidak
menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Pada
tahun ini juga diterbitkan sebuah pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan
majaah tepatnya pada tanggal 12 Oktober. Beberapa pedoman tersebut antara lain
sebagai berikut,
a.
Surat kabar dan majalah wajib menjadi alat penyabaran
manifesto politik yang telah menjadi halauan negara untuk memberantas,
kolonialisme, liberalisme dan federalis me.
b.
Surat kabar dan majalah wajib menjadi pendukung dan
pembela manifesto politik yang menjadi halauan negara dalam pemerintahan.
c.
Surat kabar dan majalah wajib menjadi pembela dan alat
pelaksanan dari politik bebas dan aktif serta tidak mejadi membela / alat dari
pada antarblok.
d.
Surat kabar dan majalah wajib menumpuk kekayaan rakyat
indonesia terhadap dasar, tujuan, dan pempinan revolusi indonesia.
e.
Surat kabar dan majalah wajib membantu usaha
penyelenggaraan kerertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik.
f.
Surat kabar dan majalah wajib mempertebal kesadaran
kepribadian Indonesia.
g.
Surat kabar dan majalah dalam menulis kritik harus
bersifat konstruktif dan berpedoman manifesto politik.
h.
Contoh pers masa demokrasisi terimpin adalah Bintang
Timur, Warta Bhakti, dan pos Indonesia.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers
semakin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari army handbook
bahwa kementrian penerangan dan badan-badan yang mengontrol semua kegiatan
pers.
Karena hal tersebut, pers pada masa
demokrasi terpimpin ini di katakan menganut konsep otoriter,karena pers pada
masa ini berfungsi sebagai terompet penguasa dan bertugas mengagung-agungkan
pribadi presiden.
Presiden Soekarno — seperti dinyatakannya
sendiri — baru merasa berkuasa penuh setelah pada 5 Juli 1959 mengeluarkan
maklumat kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante hasil pemilu pertama.
Dia begitu membenci demokrasi parlementer, yang olehnya dikritik sebagai
demokrasi ala Barat yang tidak cocok dengan demokrasi Indonesia.
Tapi, menurut Herbeth Feith & Lance
Coster dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, periode
demokrasi parlementer boleh dianggap berakhir Maret 1958, ketika terjadi
pertentangan yang amat seru antara pusat dan daerah dan berujung pemberontakan
PRRI/Permesta. Kekalahan pemberontak yang begitu cepat dan pengambilalihan
semua milik Belanda, disusul dengan susunan politik baru. Parpol-parpol menjadi
lemah dan peran para pemimpin ABRI menjadi jauh lebih besar.
Demokrasi terpimpin ditandai dengan
kembalinya konstitusi kepada UUD 1945. tanggal 29 juni usul NU untuk memasukkan
Piagam Madinah sebagai Mukadimah Undang-undang ditolak sidang Konstituante.
Lalu, digelarlah pemungutan suara untuk mengukuhkan konstitusi 1945, sesuai
usul Soekarno. Namun tiga kali diadakan pemungutan suara, tidak juga mencapai
dua pertiga suara.
Soekarno yang sedang melakukan lawatan
ke Tokyo dikontak oleh A. H. Nasution sebagai Penguasa Perang Tertinggi Negara
”dalam keadaan bahaya”. A. H. Nasution mengusulkan kepada Soekarno agar
melampaui konstitusi dengan mengeluarkan dekrit untuk kembali pada konstitusi
1945.
Tak pelak lagi kedatangan Soekarno
dielu-elukan. Seusai melakukan rapat dengan para menteri dan pembantunya di
Dewan Nasional, Soekarno segera bertindak. Pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu
upacara singkat, hanya 15 menit, keluarlah sebuh dekrit yang membubarkan konstituante
dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Dua kekuatan besar pada era ini adalah
Angkatan Darat dan Partai Komunis Indoensia. Walaupun pada akhirnya Soekarno lebih
cenderung bergerak ke arah kiri yang mempengaruhi susunan kabinetnya dan
kebijakan politiknya.
Pidato Presiden Soekarno pada hari
kemerdekaan 17 Agustus 1960 berjudul Kembali ke Jalur Revolusi, oleh
MPRS kemudian ditetapkan sebagai Manifesto Politik (Manipol) menjadi
garis-garis besar Haluan Negara. Parpol maupun perorangan, yang dinilai
menyimpang dari Manipol, disingkirkan. Masyumi dan PSI dibubarkan,
tokoh-tokohnya dipenjarakan, termasuk tokoh oposisi yang tergabung dalam Liga
Demokrasi. Setelah membubarkan BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme), terakhir kali
Bung Karno membubarkan Partai Murba — musuh utama PKI. Pembubaran BPS akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Fenomena media
di era demokrasi terpimpin
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
tiga bentuk media massa pada masa demokrasi terpimpin yaitu surat kabar, radio,
dan televisi. Ketiga media ini mempunyai peranan penting dalam konstelasi
sistem komunikasi di Indonesia kala itu.
Kebijaksanaan
Pemerintah pada Pers (Surat Kabar)
Pemerintah orde lama mengatur pers
diantaranya dengan menggunakan surat izin terbit. Pada tahun 1960 peminta izin
harus menyetujui dan menantangani kesanggupan 19 pasal. Sementara ketentuan
izin terbit pada tahun 1958 menyebutkan bahwa izin semacam itu perlu agar bisa
dicegah publikasi yang ”sensasional” dan dinilai ”bertentangan dengan
moralitas”.
Sembilan pasal yang harus disetujui
oleh penerbit surat kabar di tahun 1960 sebagai berikut :
1)
Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/atau
akan dikeluarkan/diberikan oleh Penguasa Perang Tertinggi dan lain-lain
instansi Pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan
2)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
manifesto Politik RI secara keseluruhan.
3)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
program pemerintah.
4)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
Dekrit Presiden 5 juli 1959.
5)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD
1945.
6)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
Pancasila.
7)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
Sosialisme Indonesia.
8)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
Demokrasi Terpimpin.
9)
Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela
Ekonomi Terpimpin.
10) Penerbitan kami
wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional Indonesia.
11) Penerbitan kami
wajib menjadi pendukung dan pembela martabat Negara Republik Indonesia.
12) Penerbitan kami
wajib menjadi alat untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme,
leberalisme, federalisme/separatisme.
13) Penerbitan kami
wajib menjadi pembela/pendukung dan alat pelaksana dari politik dan aktif
Negara RI serta tidak jadi pembela/pendukung dan alat dari pada Perang Dingin
antara blok negara asing.
14) Penerbitan kami
wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap
Pancasila.
15) Penerbitan kami
wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap
manofesto Politik RI.
16) Penerbitan kami
wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta
ketenangan politik.
17) Penerbitan kami
tidak akan memuat tulisan-tulisan atau lukisan-lukisan/gambar-gambar yang
bersifat sensaional dan merugikan akhlak.
18) Penerbitan kami
tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang
mengandung penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan dari
negara asing yang bersahabat dengan Republik Indonesia.
19) Penerbitan kami
tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang
mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang
berdasrkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13
tahun 1960.
Kesembilan
belas pasal itu mencerminkan kebijakan pemerintah saat itu. Peraturan Peperti
No. 10/ 1960 ini bersama dengan Penpers No.6/1963 bisa disebut tulang punggung
kebijaksanaan pemerintah di bidang pers sesudah tahun 1959 sampai dengan
lahirnya ore baru tahun 1965. Khususnya sampai dengan lahirnya UU No. 11/1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Pasal 6 Penpers
No. 6/1963 itu menegaskan perlunya izin terbit bagi harian dan majalah.
Percetakan tidak diperbolehkan mencetak harian dan majalah yang tidak mendapat
mendapat izin terbit. Pengawasan izin terbit ini di zaman reformasi mirip
dengan pasal-pasal izin penyiaran di UU No. 32/2002 tentang Penyiaran.
Ancaman hukuman
bagi percetakan yang melanggar ketentuan itu adalah penjara maksimum satu tahun
atau denda sebanyak-banyak lima puluh ribu rupiah (pasal 10). Di samping itu,
alat-alat percetakannya dapat disita atau dihancurkan (pasal 12).
Sementara itu
pasal 1 menegaskan bahwa pembinaan pers untuk selanjutnya diserahkan pada
Menteri Penerangan, yang dibantu oleh Kepala Staf Angakatan Bersenjata,
Panglima Angkatan Darat, Laut dan Udara serta Kepolisian yang semuanya dalam
kedudukan mereka sebagai Menteri.
Dalam melakukan pembinaan itu, Menteri
Penerangan diminta untuk:
a.
membina fungsi pers dalam alam Demokarasi Terpimpin;
b.
bertindak sebagai penguhubung anatara Pemimpin Revolusi
dan organisasi-organisasi pers dalam masalah-masalah pers dalam Demokrasi
Terpimpin;
c.
mendengar suara-suara dari pendapat umum atau saran dari
para wakil pers dan semua itu dalam lingkup atau dalam rangka kebijaksanaan
umum terhadap pers dari Pimpinan Revolusi.
Dalam melaksanakan tugasnya itu,
Menteri Penerangan hanya bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Pemimpin
Besar Revolusi (pasal 14).
Penpers
No. 6/1963 itu baru dicabut secara resmi dengan lahirnya UU Pokok Pers tanggal
12 Desember 1966.
Disamping
Surat Izin Terbit (SIT), sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965 berlaku pula
Surat izin Cetak (SIC), yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komanda
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda).
Terbitnya SIC yang setelah G30S ini
berawal dari kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada
tahun 1964 kaum antikomunis yang terdiri dari seniman dan politikus yang tidak
menyukai kedekatan tersebut membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Soekarno yang diyakinkan PKI bahwa BPS
akan merongrong politiknya, membubarkan BPS pada 17 Desember 1964
Selain itu Sayuti Melik, pengetik
naskah proklamasi dan suami pejuang wanita SK Trimurti, memiliki nama asli
Mohammad Ibnu Sayuti. Melik adalah nama samaran sewaktu ia memegang rubrik
pojok di Koran Pesat, Semarang. Sayuti Melik, yang hidup di kalangan santri,
menjadi terkenal ketika dia menulis Belajar Memahami Sukarnoisme, yang selama
berbulan-bulan tiap hari dimuat di 21 suratkabar.
Isi tulisan itu kentara sekali
membongkar praktek-praktek busuk kaum komunis. Oleh Presiden Sukarno ia
kemudian dipanggil dan dimintai keterangan apa maksudnya dengan artikel itu.
Setelah mendapat penjelasan, Bung Karno berkata, ”Benar kowe Ti, teruskan.”
Serial itu segera dihantam Nyoto, ahli
ideologi PKI. Tokoh muda PKI ini, melalui serangkaian tajuk rencana di koran
PKI, Harian Rakyat, menyerang keras tulisan-tulisan Sayuti Melik yang dimuat
koran-koran di berbagai daerah yang anti PKI. Bagi Nyoto, dan surat-surat pro
komunis, apa yang ditulis Sayuti Melik justru merupakan penghianatan terhadap
ajaran-ajaran Bung Karno.
Saat polemik di pers dan masyarakat
menghangat, ternyata tafsir Sayuti Melik yang dianggap salah. Tafsir Nyoto
itulah yang dianggap benar. Dan, hantaman bertubi-tubi terhadap BPS (Badan
Pendukung Sukarnoisme) yang diprakarsai Adam Malik, BM Diah dan Sumantoro,
dikumandangkan tiap hari di koran-koran kiri. Tokoh PKI Ir Anwar Sanusi,
misalnya, mengatakan, ”Setelah DI/TII gagal, kaum reaksioner di dalam negeri
memakai nama Sukarnoisme untuk
menentang arus sejarah dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia.”
Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI dan
Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di hadapan massa yang memenuhi Istora Senayan
memerintahkan, ”Bubarkan Semua Koran, Organiswasi dan alat-alat antek BPS.”
Bung Karno menuduh BPS agen CIA (badan intelijen AS) — yang menggunakan ”Soekarnoisme”
guna membunuh Sukarnoisme dan membunuh Sukarno. Pembubaran BPS itu dicanangkan
dalam acara HUT PWI Pusat. Bung Karno juga menuduh BPS mendapat dana jutaan
dolar AS dari CIA. Beberapa kawan saya (Alwi Shahab, red) yang korannya dituduh
terlibat BPS dengan menyindir berkata, ”Kalau begitu gua kaya raya dong”.
Setelah
peristiwa BPS, pers yang waktu itu hanya terbit empat halaman diwajibkan untuk
setiap terbit memuat tulisan mengenai ajaran-ajaran Bung Karno/Pemimpin Besar
Revolusi. Dalam suatu pengumuman oleh KOTI (Komando Operasi Tertinggi)
dinyatakan bahwa pemuatan itu bersifat wajib mulai 19 Desember 1964.Kiprah Radio Republik Indonesia (RRI)
Radio
Republik Indonesia, secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945, oleh
para
tokoh
yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota.
Rapat utusan 6 radio di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam Jakarta
menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih
Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama. Rapat tersebut
juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11
September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian
dikenal dengan Tri Prasetya RRI. Butir Tri Prasetya yang ketiga merefleksikan
komitmen RRI untuk bersikap netral tidak memihak kepada salah satu aliran /
keyakinan partai atau golongan. Walaupun pada era demokrasi terpimpin kebijakan
RRI banyak dipengaruhi oleh keadaan politik pada saat itu. Hal ini tak aneh
karena Soekarno sebagai presiden di era demokrasi terpimpin mempunyai kekuasaan
yang tak terbatas.
Setelah kejadian G30S , RRI termasuk
gedung yang kemudian diambil alih. Dari gedung RRI Pusat lah, letkol Untung,
yang juga Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa tepat pukul 07.20 WIB tanggal
1 Oktober 1965 mengumumkan adanya sebuah gerakan yang bernama ”Gerakan 30
September”. Pengumuman yang sama kemudia diulang lagi pukul 08.15 WIB. Dalam
penjelasannya komando Gerakan menyatakan gerakan tersebut semata-mata gerakan
di dalam tubuh Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal, yang kini
anggotanya telah ditangkap dan Presiden Soekarno dianggap selamat.
Untuk lebih mempertegas keberadaannya, tepat pukul 14.00 WIB, Komando Gerakan
30 September kembali mengeluarkan sebuah pengumuman berupa Dekrit No. 1 tentang
pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Setelah mengeluarkan Dekrit No. 1,
Gerakan 30 September selanjutnya menyiarkan dua buah keputusan penting. Pertama, Keputusan No. 1 tentang
Susunan Dewan Revolusi
Indonesia.Kedua,
Keputusan No. 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat
Namun statement ini akhirnya dibalik dengan teori Soeharto yang malahan menuduh
PKI berada di balik semua rencana ini. Pendapat
lain yang lebih kontroversial dikembangkan Wertheim dalam bukunya, "Whose
Plot? New Light on The 1965 Events" (1979). Menurut Wertheim, penempatan
PKI sebagai dalang G30S sangat tidak beralasan. Selain itu ada pendapat lain
juga yang menempatkan Soekarno sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September.
pendapat ini disampaikan John Hughes dalam bukunya, "The End of
Sukarno" (1967. Hal senada juga disampaikan oleh Anthonie CA Dake dalam
bukunya, "The Spirit of Red Banteng" (1973).
Kelahiran
TVRI
Di tengah merangkaknya kekuasaan era demokrasi terpimpin yang disebut juga orde
lama pada tahun 1961, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukan proyek
media massa televisi kedalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah
koordinasi urusan proyek Asean Games IV.
Pada
25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961
tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Disusul 23 Oktober 1961,
Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menpen
Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi (saat itu waktu persiapan hanya
tinggal 10 bulan) dengan jadwal sebagai berikut,
1.Membangun
studio di eks AKPEN di Senayan (TVRI sekarang).
2.Membangun
dua pemancar : 100 watt dan 10 Kw dengan tower 80 meter.
3.Mempersiapkan
software (program dan tenaga).
Momen 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta,
dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Dilanjutkan 24
Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung
upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Sampai
pada 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No. 215/1963 tentang pembentukan
Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI
Kesimpulan
Media Massa di era demokrasi terpimpin sarat sekali dengan kungkungan
kekuasaan. Konstelasi politik yang melibatkan dua kekuatan besar yaitu Angkatan
Darat dan PKI. Kebijakan pemerintah terkait pers dengan produk Undang-undangnya
menjadi reperesentasi kebijakan pemerintah pada media.
Tampaknya Soekarno memang seorang presiden yang sangat sadar dengan arti media.
Bukan hanya memperhatikan apa yang harus ditulis di media tapi Soekarno juga
punya hubungan yang baik dengan siapa yang menulis di media. Namun bukan
berarti berhubungan baik membawa kebaikan.
0 Response to "Pers Pada Masa Demokrasi Terpimpin Lengkap"
Posting Komentar